Sunday, December 28, 2008
Ibadah Shalat, Jangan Remehkan!
Shalat adalah salah satu rukun Islam yang terpenting setelah Syahadatain. Shalat juga memiliki kedudukan yang agung dalam Islam. Mengapa demikian? Setidaknya karena beberapa alasan:
1. Perintah shalat diterima langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam di langit ke tujuh dalam peristiwa Isra' dan mi'raj
Ketika Allah Subhaanahu Wata'ala menetapkan suatu syariat, maka Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan wahyu-Nya kepada Rasul-Nya melalui perantaraan Jibril. Zakat misalnya, Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan firman-Nya berisi perintah membayar zakat, yang artinya, "Dan tunaikanlah zakat…" (QS. Al Baqarah: 43).
Demikian pula puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya.
Berbeda dengan shalat, Allah Subhaanahu Wata'ala tidak cukup hanya dengan menurunkan firman-Nya berisi perintah shalat, tapi lebih dari itu. Allah Subhaanahu Wata'ala memanggil langsung Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk menerima perintah shalat tersebut. Hal ini, menunjukkan keutamaan dari ibadah shalat jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
2. Dalam kondisi apa pun, shalat tidak boleh ditinggalkan
Betapa pun sibuknya Anda, dan parahnya penyakit Anda—selama masih sadarkan diri, shalat tetap harus ditegakkan. Bedanya dengan ibadah lain, zakat misalnya, ketika Anda tidak memiliki harta yang cukup nishabnya, maka Anda tidak wajib membayar zakat. Puasa, tidak diwajibkan bagi orang yang sakit. Haji, bisa jadi Anda memiliki harta yang cukup untuk bekal perjalanan ke tanah suci, tapi Anda sakit, maka Anda pun tidak wajib haji. Atau sebaliknya, badan Anda sehat, tapi Anda tidak memiliki harta yang cukup, maka Anda pun tidak wajib mengerjakan ibadah haji.
Adapun shalat, kita diperintahkan untuk mengerjakannya dengan berdiri. Namun ketika kita sakit dan tak mampu berdiri, maka shalat boleh sambil duduk. Jika duduk pun tidak mampu, maka boleh dengan berbaring, dan seterusnya.
3. Amalan yang paling pertama dihisab
Bayangkan, Anda berpuasa, membayar zakat, lima kali haji, membangun banyak masjid, menyantuni fakir miskin, tapi Anda melalaikan shalat. Maka apa jadinya?
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، إِذَا صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِذَا فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
“Sesungguhnya amalan yang paling pertama dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka ia telah beruntung dan selamat. Tapi jika shalatnya rusak, maka ia telah binasa dan merugi”.(HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
4. Wasiat Terakhir Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
Pesan-pesan terakhir dari orang yang akan meninggal dunia biasanya berisi wasiat-wasiat yang sangat penting yang disampaikan kepada kerabat dekatnya. Dan ternyata, wasiat terakhir dari Nabi kita adalah perintah menjaga shalat.
Saat itu, menjelang wafat beliau, dari atas pembaringan, beliau berwasiat kepada seluruh umatnya,
الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ
"Jagalah shalat! Jagalah shalat!" (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Yah, junjungan kita telah berwasiat kepada kita untuk menjaga shalat. Namun sayang, manusia meremehkannya.
Inilah beberapa alasan yang menunjukkan keagungan shalat dalam Islam. Dan masih ada banyak ayat dan hadits yang menunjukkan hal tersebut.
Namun demikian, banyak yang tidak peduli. Mereka berkata, meninggalkan shalat itu perkara biasa. Hal sepele. Dosa kecil. Nyatanya, di mana-mana banyak orang meninggalkan shalat, tapi rejeki mereka tetap mengalir.
Benarkah demikian? Beginilah Allah Subhaanahu Wata'ala berkata tentang mereka—yang meremehkan shalat:
1. Meninggalkan shalat sama dengan syirik
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, artinya,
“Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Ar-Rum: 31).
Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wata'ala menyamakan antara orang yang meninggalkan shalat dengan pelaku kesyirikan. Mengapa demikian? Orang musyrik lebih mendahulukan selain Allah Subhaanahu Wata'ala. Sama dengan orang yang meninggalkan shalat. Mereka mendengar adzan, hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alal falah. Tapi mereka tidak bergeming. Mereka tetap meneruskan pekerjaan. Tidak beranjak dari hadapan televisi. Tidak pula meninggalkan pembaringan. Seolah-olah semua itu lebih besar, lebih agung, dan lebih pantas untuk didahulukan daripada Allah Subhaanahu Wata'ala.
Maka kita mesti berhati-hati dari meninggalkan shalat, karena itu sama dengan syirik. Padahal, syirik adalah dosa yang paling besar. Jika pelakunya meninggal sebelum sempat bertobat, maka dia terjatuh dalam bahaya yang sangat besar. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, artinya:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah: 72).
2. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman dalam surah Maryam: 59, artinya, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
Ibnu Abbas رضي الله عنهما dalam menafsikan ayat tersebut berkata, “Bukanlah maknanya menyia-nyiakan shalat yaitu meninggalkan shalat secara keseluruhan, akan tetapi mereka mengakhirkan dari waktunya.”
Demikian pula komentar Sa’id Ibnu Al Musayyib رحمه الله , “Ia tidak shalat Dzuhur kecuali setelah masuk waktu Ashar. Tidak shalat Ashar hingga masuk waktu Magrib. Tidak shalat Magrib hingga masuk waktu Isya. Tidak shalat Isya hingga masuk waktu Fajar. Dan tidak shalat Fajar kecuali setelah terbit matahari.”
Lalu apa balasan bagi orang yang menyia-nyiakan shalat?
Dalam ayat tersebut disebutkan, “Maka mereka akan menjumpai al ghay”. Di antara tafsiran al ghay adalah lembah di neraka Jahannam yang berisi nanah para penghuni neraka.
Bayangkan, sekadar mengulur waktu shalat sudah diancam dengan al ghay. Bagaimana pula dengan orang yang sama sekali tidak shalat?
3. Kelak di akhirat, orang yang meninggalkan shalat tidak akan mampu bersujud di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala, ketika semua orang mukmin bersujud.
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, artinya, “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa. (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS. Al Qalam: 41-42).
Ketika semua manusia dikumpulkan di akhirat, dari yang paling pertama diciptakan, hingga yang paling akhir diwafatkan. Maka semua orang mukmin bersujud. Tapi orang-orang kafir, munafik, demikian pula orang yang meninggalkan shalat, tidak mampu bersujud. Apa sebab? Dalam ayat di atas disebutkan, karena mereka di dunia telah diseru untuk bersujud, tapi mereka enggan. Padahal mereka dalam keadaan aman. Tidak ada yang menghalangi mereka untuk shalat. Maka Allah menghinakan mereka dengan tidak mampu bersujud di hadapan-Nya.
4. Dalam surah Al Baqarah ayat 34, Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam!" Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Menurut Anda, apa yang menyebabkan Iblis terusir dari surga dan ditetapkan jadi penghuni neraka? Karena pembangkangannya untuk bersujud—sebagai penghormatan, bukan untuk menyembah—kepada Adam.
Lalu bagaimana dengan kita? Kita tidak diperintahkan untuk bersujud kepada Adam Alaihissalam, tapi kepada Zat Pencipta Adam, Allah Subhaanahu Wata'ala. Lalu manakah yang lebih berat konsekuensi penolakan Iblis untuk bersujud kepada Adam, ataukah penolakan kita untuk bersujud kepada Allah Subhaanahu Wata'ala?
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al Hasyr: 2).
Dan masih banyak ayat Allah Subhaanahu Wata'ala dalam Al Qur’an yang berbicara tentang ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat.
Lalu apa pula kata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang mereka? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun telah memberikan peringatan-peringatan keras dalam banyak hadits beliau.
Maka sebagai Muslim yang benar-benar beriman, hendaknya senantiasa menjaga shalat dengan baik dan takut akan ancaman Allah Subhaanahu Wata'ala. Jangan sampai pengakuan kita sebagai Muslim hanyalah bertepuk sebelah tangan, seperti yg dikatakan penyair,
كُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ
“Setiap orang mengakui punya hubungan dengan Laila, akan tetapi Laila tidak pernah mengakuinya”.
Semua orang mengaku beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala. Berislam dengan benar. Tapi apakah Allah Subhaanahu Wata'ala mengakui keimanan mereka? Sementara mereka lalai melaksanakan perintah-Nya, shalat lima waktu. Bahkan mungkin di antara kaum Muslimin ada yang bertetangga dengan masjid dan mendengarkan adzan dikumandangkan lima kali dalam sehari semalam, namun hatinya tidak tersentuh untuk memenuhi panggilan Allah. Lalu kemudian mengaku sebagai Muslim yang taat. Layakkah pengakuan itu diterima?
Wallahu Waliyyut Taufiq (Buletin Al Fikrah No.04 Tahun X/26 Muharram 1430 H)
0 comments:
Poskan Komentar