Thursday, January 01, 2009

As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an

Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan,
atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang
ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang
hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli
hadits
. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat
wajib’
yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi
Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
hal. 11).




As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana
disebutkan dalam sabda Rasulullah :

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa
dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan
sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :

“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah
ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti
diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an
yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama
yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat

Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya,
yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub
dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan
dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang
benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh
sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam
Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada
masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah,
dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an
namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali
kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al
Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al
Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu
menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa
As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan
mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka,
setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah
dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal
Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya
As-Sunnah:
Pertama:

Firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ


“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)


Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat-
mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda
Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:

“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa
nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)


Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli
syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr.
Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam
penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak
akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit
saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut
sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu
terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan
ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu
saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim
yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh
Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya;
dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits
Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin
Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:

Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan
syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada
seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad
sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at
selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh
manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu
kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at
yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu
As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al
Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:

Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan
bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad
Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan
As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan
As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang
membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik
berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas
sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang
diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram
menyelisihinya


Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada
generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di
semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan
keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak
boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam
Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal
menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).”
Kaidah Ushul menyatakan,
“Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah
“Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan
perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah

Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum
dengan As-Sunnah, diantaranya:
1. Firman Allah :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah
dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih
pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah
nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2. Firman Allah :

“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. 49:1)
3. Firman Allah :

“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4. Firman Allah :

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan,
karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal:
46)
5. Firman Allah :

“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang
menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi
dalam segala hal
diantaranya:
1. Abu Hurairah
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat
bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab,
“Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku
dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu Rafi’
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :

“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas
sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku
larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang
akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no.
2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu Hurairah
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh
dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan
Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh
(Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara
mursal
(Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara
musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada
Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no.
1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :

1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak
diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada
Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan
yang nyata.

2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya
larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.

3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang
kafir.

4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan
penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang
meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.

5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga;
sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh
Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh
adzab yang menghinakan.

6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas
Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati
dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah
menyimpang dari tuntunan Rasulullah

7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari
penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku
sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:

1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.


2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As
Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet.
III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa

0 comments:

Poskan Komentar

 
Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Followers

Reccent Comments

© Free News Template Copyright by BLOGGOA | Template by Fanchon0706 | Blog Trick at BLOGGOA